Minggu, 26 Agustus 2012

Puasa Rajab, Sunnah atau Bid'ah?

Puasa Rajab, Sunnah atau Bid'ah?
Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia, yang
mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki bulan-bulan mulia seperti bulan Rajab. Persoalannya,
setelah merebaknya aliran Salafi-Wahabi di Indonesia, beragam tradisi ibadah dan keagamaan yang
telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara, seperti puasa Sunnah di bulan Rajab selalu
dipersoalkan oleh mereka dengan alasan bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan lainnya. Seakanakan
mereka ingin menghalangi umat Islam dari mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya menjernihkan hukum puasa Rajab
berdasarkan pandangan para ulama yang otoritatif.
Hukum Puasa Rajab
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa
puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab
Hanbali.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari)
hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan
ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut,
atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat
tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah,
sementara sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan
Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang
disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram
pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud
perkataan pengarang, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram
yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib
al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),
“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan
adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang
paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah
bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami
sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan
Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-
Fiqhiyyah (2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal
berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa
hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang
berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh,
maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan
menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh,
dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang
karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau
beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu
hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama.
Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
DALIL PUASA RAJAB
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil
dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks
ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan
fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari
sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah
berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa
Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya.
Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum
syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan
syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan
yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat
mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang
menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Allah berfirman,
semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi
Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum
menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan
berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan
khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa
pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama.
Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-
Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah
Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya,
sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih
mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang
tahun sebelumnya.” Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Kondisi fisik mu kok
berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak
meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Mengapa kamu
menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam
setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab:
“Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi
Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata:
“Tambahlah.” Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan
tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan
tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
(6/439): “Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian
dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa
bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan,
maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama
juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits
tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal,
seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin
Zaid berikut ini:
“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak
melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?”
Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan
Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291):
“Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak
dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melalaikan
untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan
Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa
beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah
bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain.
Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara
penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang
dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan
kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan
bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara
khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah ditanya
tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi
Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah Shollallaahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah
meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal
dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-
Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang puasa Rajab. (HR.
Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-
Fatawa al-Kubra [2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa
Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi
atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa
Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan
lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Demikian catatan sederhana tentang hukum puasa Rajab. Wallahul muwaffiq.
*Catatan dari Muhammad Idrus Ramli